Archive for May, 2011


Jaket BAPIN ISMKI

Pengumuman, pengumuman… 🙂

Telah meluncur, jaket BAPIN ISMKI.. Anak2 RLU kudu WAJIB mesen yaaaa…. Jaketnya gak kalah keren ko’ dari yang lain…. Cara ordernya, hubungin no CP dibawah poster ini yaaaa….. Makasi 🙂

admin

ANEMIA

Anemia didefinisikan sebagai pengurangan volum eritrosit atau konsentrasi hemoglobin dibawah nilai rentang yang terdapat pada orang-orang normal. Anemia dapat disebabkan oleh banyak hal,  antara lain karena adanya penurunan produksi atau hipoproliferasi dari eritrosit, hemolisis, dan kelainan genetik.1

Anemia yang disebabkan oleh kekurangan zat besi untuk sintesis hemoglobin adalah penyakit hematologi yang sering dijumpai pada bayi dan anak, diperkirakan terdapat 30% populasi dunia menderita anemia defisiensi besi terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. 1

Berdasarkan hasil–hasil penelitian terpisah yang dilakukan di beberapa tempat di Indonesia tahun 1980, prevalensi anemia pada wanita hamil 50-70%, anak balita 30-40%, anak sekolah 25-35% dan pekerja fisik berpenghasilan rendah 30-40%. Menurut SKRT 1995, prevalensi rata–rata nasional pada ibu hamil 63,5%, anak balita 40,1%. Prevalensi anemia defisiensi besi yang tinggi pada anak sekolah  membawa  akibat negatif yaitu rendahnya  kekebalan tubuh sehingga menyebabkan tingginya  angka  kesakitan.

Prevalensi anemia defisiensi besi juga sering dijumpai pada anak usia sekolah dan remaja. Angka kejadian anemia defisiensi besi pada anak usia sekolah (5-8 tahun) di kota sekitar 5,5%, anak pra-remaja 2,6% dan gadis remaja hamil 26%. Di Amerika Serikat sekitar 6% anak berusia 1-2 tahun diketahui kekurangan besi, 3% menderita anemia. Lebih kurang 9% gadis remaja di Amerika Serikat kekurangan besi dan 2% menderita anemia, sedangkan pada anak laki-laki sekitar 50% cadangan besinya berkurang saat pubertas.1

Prevalensi anemia defisiensi besi lebih tinggi pada anak kulit hitam dibanding kulit putih, keadaan ini mungkin berhubungan dengan status sosial ekonomi anak kulit hitam lebih rendah.1

Definisi Anemia

  1. Anemia adalah penurunan volum sel darah merah atau konsentrasi hemoglobin dibawah nilai rentang yang terjadi pada orang sehat. Adapun nilai rujukan nilai normal untuk sel darah merah wanita dewasa adalah 3,8 – 4,8 juta/mm3 sedangkan laki-laki dewasa adalah 4,5 – 5,5 juta/mm3. Nilai rujukan kadar hemoglobin untuk laki-laki dewasa adalah 13,0 – 17,0 g/dl sedangkan untuk wanita dewasa tidak hamil adalah 12,0 – 15,0 g/dl.1
  2. Anemia secara fungsional adalah ketidakcukupan jumlah sel darah merah yang adequate untuk membawa oksigen ke jaringan perifer.2

Download makalah penelitiannya disini
Semoga bermanfaat.
admin

Ukas Cukasah, dr., Sp.A(K).

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FK UNJANI

BATASAN

Sampai saat ini belum ada definisi klinis anafilaksis yang diterima di seluruh dunia.

Definisi anafilaksis terbaru dibuat oleh World Allergy Organization (WAO) yang pada tahun 2004 mendefinisikan anafilaksis sebagai suatu reaksi hipersensitifitas yang berat dan mengancam jiwa.

Terminologi anafilaksis alergi digunakan apabila reaksi tersebut diperantarai oleh mekanisme imunologis, yaitu IgE, IgG dan kompleks imun-komplemen. Reaksi anafilaksis yang diperantarai oleh antibodi IgE, disebut anafilaksis alergi IgE-mediated.

Reaksi anafilaksis non alergi, sebelumnya disebut reaksi anafilaktoid atau reaksi pseudo alergi, adalah jika anafilaksis disebabkan oleh penyebab non imunologis.8 Definisi ini cukup membantu para klinisi, tenaga medis emergensi dan tenaga kesehatan lainnya yang sering menghadapi pasien yang menunjukkan salah satu gejala dari pola tanda dan gejala anafilaksis, mendiagnosanya, dan kemudian memberikan terapi.6

EPIDEMIOLOGI :

Insidensi anafilaksis secara pasti belum diketahui, sebagian besar disebabkan oleh belum jelasnya definisi dari sindrom itu sendiri. Anafilaksis yang fatal relatif jarang, pada individu yang benar-benar mengalami anafilaksis, hampir 1% terjadi kematian. Bentuk yang lebih ringan lebih sering terjadi. Insidensi anafilaksis di Amerika Serikat per tahun diperkirakan 30 kasus per 100.000 orang per tahun (81.000 kasus per tahun). Suatu survey di Australia menyebutkan 0,59% dari anak-anak berusia 3-17 tahun mengalami sedikitnya satu kejadian anafilaksis.1

Suatu penelitian epidemiologi menyebutkan anafilaksis sekarang lebih sering terjadi pada komunitas daripada di pusat kesehatan. Angka kejadiannya meningkat pada individu dengan status sosioekonomi baik. Insiden tertinggi terjadi pada anak-anak dan remaja. Sampai usia 15 tahun, predileksinya adalah pada laki-laki, namun setelah usia 15 tahun, predileksinya pada wanita. Terdapat kecenderungan perbedaan faktor pencetus pada kelompok usia yang berbeda-beda, sebagai contoh, anafilaksis fatal yang dicetuskan oleh makanan puncaknya terjadi pada remaja dan dewasa muda, sedangkan anafilaksis fatal yang dicetuskan oleh sengatan serangga, zat-zat yang digunakan untuk diagnostik, dan obat-obatan terjadi terutama pada usia pertengahan dan dewasa lanjut.1

ETIOLOGI

Etiologi tersering dari reaksi anafilaksis yaitu alergi makanan, obat-obatan, sengatan lebah (Hymenoptera) dan lateks. Anafilaksis yang terjadi pada pasien rawat inap terutama karena reaksi alergi terhadap pengobatan dan lateks, sedangkan anafilaksis yang terjadi di luar rumah sakit paling banyak disebabkan oleh alergi makanan.

Anafilaktik (IgE dependent)

  Antibiotik:

Penisilin dan derivatnya

Basitrasin

Neomisin

Tetrasiklin

Streptomisin, dll

Bahan yang sering dipergunakan untuk prosedur diagnosis:

Zat radioopak

Bromsulfalein

Benzilpenisiloil-polilisin

Bisa (racun):

Ular

Semut api

Lebah

Kumbang

Ekstrak alergen:

Rumput-rumputan atau jamur

Serum (ATS, ADS, Anti bisa ular)

Darah

Lengkap

Produk

Gamaglobulin

Kriopresipitat

Serum

Imunoglobulin i.v.

Makanan

Susu sapi

Kerang

Kacang-kacangan

Ikan

Telur

Udang

Lateks

Anafilaktoid (IgE Independent)

Aktivasi komplemen multimediator – aktivasi sistem kontak

Media radiokontras

Angiotensin-converting enzyme inhibitor yang diberikan selam dialisis ginjal

Etilen oksida

Protamin

Degranulasi sel mast dan basofil nonspesifik

          Opioid

Pelemas otot

Idiopatik

Faktor fisik

Olahraga

Suhu (dingin atau panas)

Immune aggregates

Imunoglobulin intravena

Dekstran

Sitotoksik

Reaksi transfusi terhadap elemen seluler (IgG, IgM)

Psikogenik

Zat artifisial

Anafilaksis idiopatik

Mayoritas kasus reaksi anafilaksis tidak bersifat fatal. Diperkirakan 1-2% kejadian yang disebabkan penisilin diperberat dengan reaksi sistemik namun hanya 10% yang bersifat fatal. Di Amerika Serikat sekitar 400-800 orang meninggal per tahunnya karena anafilaksis akibat penisilin dengan gambaran yang serupa dengan media kontras. Tujuh puluh persen kematian disebabkan oleh komplikasi pernafasan yaitu edema laring dan atau bronkospasme dan 25% oleh karena disfungsi kardiovaskular.9

PATOGENESIS

Seperti dibahas diatas anafliaksis alergi selain berdasarkan mekanisme imunologik juga dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan sistem saraf otonom. Sistem parasimpatik (kholinergik) dan sistem simpatik (adrenergik) mempunyai efek yang berlawanan terhadap organ sasarannya, sehingga keadaan inipun akan mempengaruhi terhadap keseimbangan antara sel mediator dan sel sasarananya (otot polos).

Reaksi alergi dimulai ketika alergen melewati barier epitel dan atau endotel dan kemudian berinteraksi dengan 2 molekul antibodi IgE sitotropik yang berikatan dengan sel (cell bound IgE antibodies) sehingga menimbulkan rangkaian peristiwa biokimia. Kekuatan barier alami seperti kulit atau saluran cerna harus dapat ditembus, dan alergen ini harus mencapai sel yang tersensitisasi di jaringan (sel mast) atau darah (basofil).6

Peristiwa tersebut termasuk aktivasi proesterase (E) menjadi esterse aktif (Ä’) yang menyebabkan agregarsi mikrotubuli dalam sitoplasma mastosit. Mikrotubuli angat diperlukan untuk pergerakan butir-butir yang mengandung beberapa mediator tertentu ke arah tepi sel sehingga dapat dilepaskan ke luar sel, yaitu histamin, SRS-A dan ECF-A. Sebaliknya pembentukan mikrotubuli akan dihambat oleh pembentukan cAMP dari ATP oleh adenilsiklase karena mikrotubuli akan bercerai-berai. Lagi pula cAMP dalam sito plasma dalam keadaan seimbang dengan konsentrasi cGMP. Dengan demikian degranulasi tersebut tergantung dari konsentrasi cAMP dan cGMP.

Maka apapun yang menyebabkan kenaikan kadar cGMP atau penurunan cAMP akan menimbulkan degranulasi. Perangsangan saraf parasimpatis (misalnya N. Vagus) akan mendorong produksi asetilkolin yang akan mengubah enzim guanilatsiklase menjadi aktif. Enzim aktif ini akan mengubah GTP menjadi cGMP. Sedangkan efek perangsangan parasimpatis ini akan dihambat oleh antagonisnya yaitu atropin.

Dengan mekanisme yang sama perangsangan saraf simpatis akan mempengaruhi konsentrasi cAMP. Perangsangan saraf simpatis sendiri akan mengakibatkan 2 jenis efek karena adanya 2 jenis reseptor yang berbeda. Perangsangan melalui reseptor α-adrenergik akan menghasilkan penurunan cAMP dalam sel mastosit, sedangkan perangsangan melalui β-adrenergik akan meningkatkan konsentrasi cAMP yaitu melalui pengaktifan enzim adenilatsiklase sehingga ATP akan diubah menjadi cAMP.

Dengan demikian jelaslah bahwa sistem saraf otonom dapat mempengaruhi degranulasi mastosit melalui pengaturan cGMP dan cAMP. Namun sebaliknya juga dapat diatur oleh adanya aktifitas enzim fosfodiesterase yang akan menghancurkan keduanya cAMP dan cGMP.

Reseptor untuk adrenergik α dan β dapat dirangsang oleh molekul yang sama dengan efek berbeda. Norepinefrin yang dihasilkan oleh ujung saraf noradrenergik misalnya akan mempengaruhi reseptor dengan efek yang berbeda. Perangsangan reseptor α akan lebih besar efeknya dari pada perangsangan reseptor β. Sebaliknya epinefrin yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal akan memberi efek lebih besar apabila merangsang reseptor β. Belakangan ditemukan adanya 2 jenis reseptor adrenergik β1 dan β2  yang penyebarannya pada sel-sel jaringan tidak merata. Misalnya reseptor β2 lebih banyak terdapat pada jaringan paru-paru. Keadaan ini dimanfaatkan untuk pengobatan asma bronkhiale dengan salbutamol yang merupakan agonis untuk reseptor β2.

Oleh karena keseimbangan siklik nukleotida juga mempengaruhi keadaan sel sasaran, maka dasar pengobatan alergi juga memperhatikan keadaan fisiologik sel sasarannya. Apabila sel sasarannya otot polos terjadi peningkatan kadar cAMP maka otot polos tersebut ada dalam keadaan relaksasi. Keadaan tersebut juga terjadi pada sel sasaran lainnya, misalnya sel kelenjar sehingga akan terjadi pengecilan pembuluh darah dan pengurangan sekresi kelenjar. Keadaan tersebut dapat mengrangi gejala alergi.

Mekanisme kerja obat yang sering digunakan dalam mengatasi renjatan anafilaktik diantaranya:

  1. Adrenalin.

Adrenalin termasuk golongan adrenergik yang akan meningkatkan konsentrasi cAMP dalam mastosit sehingga terjadi hambatan degranulasi. Selain itu adrenalin mempunyai khasiat terhadap sel sasaran, yaitu:

(1). Perangsangan terhadap pembuluh darah kulit, selaput lendir dan terhadap kelenjar liur. (2). Mengendurkan otot polos usus, bronkhus dan pembuluh darah otot rangka. (3). Perangsanga jantung dengan akibat peningkatan denyut jantung, kekuatan kontraksinya dan tekanan darah. (4). Perangsangan pusat-pusat pengaturan di otak, misalnya pernafasan. Kesemuanya ini kalau disimpulkan akan mengurangi gejala-gejala renjatan anafilaktik.

2. Antihistamin.

Antihistamin merupakan kelompok obat-obatn yang berkerja menghambat histamin yang dihasilkan oleh mastosit.

  1. Teofilin

Teofilin termasuk kelompok xantin yang mempunyai khasiat mengatasi renjatan anafilaktis. Mekanisme kerjanya melalui mastosit dan sel sasarannya seperti halnya adrenalin.

Teofilin menghambat kerja enzim fosfodiesterase yang akan merusak cAMP, sehingga kadar cAMP akan meningkat akibatnya degranulasi mestosit dihambat. Selain itu teofilin akan bekerja pada pusat pernafasan dan otot-otot bronkhus, lebih-lebih otot-otot brunkhus dalam keadaan kontraksi. Kesemuanya akan mengrangi gejala-gejala renjatan anafilaktik.

  1. Kortikosteroid

Kortikosteroid merupakan kelompok obat-obatan yang paling banyak dipakai pada penyakit radang dan penyakit imunologik. Walaupun pada beberapa binatang, pemberiannya menimbulkan kerusakan pada jaringan limfoid, namun pada manusia hal tersebut tidak terjadi. Koretokosteroid mempunyai efek menghambat radang, disamping menghambat respons imun dan menstabilkan dinding mastosit. Dengan menghambat respons imun mungkin dapat menghambat sintesis IgE.

MANIFESTASI KLINIS :

Pelepasan mediator seluler kemudian menimbulkan respon pada organ seperti kulit, saluran nafas, sistem kardiovaskular, dan susunan saraf 6

 Tanda dan gejala klinis anafilaksis
Kutan / subkutan / jaringan mukosa

     Flushing, pruritus, urtikaria, angioedema, ruam morbiliform

Pruritus pada bibir, lidah, palatum; edema pada bibir, lidah dan uvula

Pruritus periorbita, eritema dan edema, eritema konjungtiva

Saluran pernafasan

     Laring: pruritus dan nyeri tenggorokan, disfagia, disfoni, suara serak, pruritus di kanalis aurikularis eksterna

Paru-paru: nafas pendek, dispnea, rasa berat di dada, batuk, mengi / bronkospasme (penurunan PEF)

Hidung: Pruritus, hidung tersumbat, hidung berair, bersin

Kardiovaskular

Hipotensi

     Near syncope, pingsan, penurunan kesadaran

Nyeri dada, disritmia

Gastrointestinal

     Mual, nyeri atau kram perut, muntah, diare

Lain-lain

     Kontraksi uterus pada wanita

Gambaran klinis dari anafilaksis dapat bervariasi, namun kompensasi dari sistem pernafasan dan kolapsnya kardiovaskular menjadi hal yang penting karena kelainan yang mengenai kedua sistem organ ini paling sering berakibat fatal.4

Gambaran patologis dari anafilaksis meliputi urtikaria dan angioedema, serta yang bersifat fatal meliputi hiperinflasi paru akut, edema dan perdarahan intraalveolar, kongesti visera dan edema laring. Hipotensi akut diakibatkan oleh dilatasi vasomotor dan atau disritmia jantung.1

Onset dari gejalanya bergantung dari penyebab reaksi, yaitu reaksi dari alergen yang ditelan (makanan, obat-obatan) mengalami onset yang lambat (bermenit-menit sampai 2 jam) dibandingkan dengan alergen yang disuntikkan (sengatan serangga, obat-obatan) dan cenderung lebih banyak mengalami gejala gastrointestinal. Waktu rata-rata sampai terjadinya henti nafas atau henti jantung pada alergi makanan sekitar 30 menit, pada sengatan serangga  sekitar 15 menit, dan pada obat-obatan seperti media kontras mencapai 5 menit.6

 

PEMERIKSAAN PENUNJANG

  • Pemeriksaan darah
  • Uji Coomb untuk penderita anemia
  • Antibodi IgE total serum
  • Antibodi IgE spesifik dalam RAST (Radioallergosorbent test)
  • Antibodi IgM dan IgG spesifik
  • Antibodi antinuklear (ANA) pada SLE yang diduga diinduksi oleh obat-obatan
  • Uji kulit
    • Uji tusuk (Prick test/Scratch test)
    • Uji tempel (Patch test)
  • Uji provokasi

Dilakukan setelah keadaan gawat darurat teratasi

Pemeriksaan darah lengkap

Ht ­ à hemokonsentrasi

Kerusakan miokardium

SGOT ­

CPK (fosfokinase kreatin) ­

LDH (dehidrogenase laktat) ­

Foto toraks

Emfisema (hiperinflasi), atelektasis atau edema paru

EKG

Perubahan EKG bersifat sementara (kecuali pada infark miokardium)

Depresi gelombang S-T

Bundle branch block

Fibrilasi atrium

Berbagai aritmia ventrikular

 

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding perlu dipikirkan saat melakukan anamnesis, meskipun penderita memiliki riwayat anafilaksis sebelumnya.2

Salah satu diagnosa banding yang penting adalah reaksi vasodepres/vasovagal. Pada reaksi ini ditemukan hipotensi, pucat, lemah, mual, muntah, dan berkeringat. Yang dapat membedakannya dengan reaksi anafilaksis yaitu tidak adanya manifestasi kulit (urtikaria, angioedema, kemerahan, dan pruritus) dan adanya bradikardia pada reaksi vasodepres, sementara pada anafilaksis lebih sering terjadi takikardia.

Kejadian kemerahan pada kulit (flushing) juga dapat menyerupai anafilaksis. Obat-obatan seperti niasin, nikotin, katekolamin, penghambat ACE, alkohol, tumor tiroid atau saluran cerna, feokromasitoma, hiperglikemi dapat menyebabkan terjadinya flushing.

 

KRITERIA DIAGNOSIS

Riwayat penggunaan obat, makanan, gigitan binatang atau transfusi

Diagnosis anafilaksis bergantung dari anamnesis yang tepat dan hati-hati. Untuk dapat menggali anamnesa yang tepat, penting untuk mengetahui manifestasi dari anafilaksis. Manifestasi tersering dari anafilaksis adalah mengenai kulit, kolaps kardiovaskular, dan syok. Tidak adanya manifestasi pada kulit tidak menyingkirkan diagnosis anafilaksis.2

Alergi yang berbeda dapat menimbulkan respon yang berbeda-beda, meskipun imunobiologis dan patofisiologi anafilaksis yang terjadi pada dasarnya sama. Pada anamnesis perlu diketahui kapan serangan terjadi, aktivitas yang sedang dilakukan sebelum serangan terjadi, terapi yang diberikan selama serangan, respon terhadap terapi tersebut, dan lamanya serangan. Bila serangan bukan pertama kalinya maka hal-hal tersebut perlu ditanyakan dari masing-masing serangan. 2, 5

Anamnesis harus dapat menggali kemungkinan penyebab dari serangan. Perlu ditanyakan riwayat konsumsi makanan dan obat-obatan sebelum timbul serangan, kemungkinan tersengat serangga, aktivitas saat serangan terjadi, lokasi kejadian apakah di rumah atau tempat kerja, atau apakah serangan berkaitan dengan panas, dingin, juga aktivitas seksual. Status atopi pada penderita juga perlu ditanyakan karena anafilaksis yang dicetuskan oleh makanan juga anafilaksis idiopatik lebih sering terjadi pada individu dengan riwayat atopi dibandingkan dengan yang tidak.  Timbulnya kembali gejala setelah remisi juga perlu diperhatikan karena hal ini menunjukkan reaksi fase lambat, sehingga diperlukan masa observasi yang lebih lama.2

Untuk mendiagnosa anafilaksis karena obat-obatan diperlukan anamnesis yang akurat, yaitu kapan obat tersebut diberikan, interval sampai terjadi reaksi, obat-obatan yang sebelumnya pernah didapatkan oleh pasien (untuk memperkirakan sensitisasi sebelumnya), dan respon pasien terhadap terapi. Data rekam medis dari unit gawat darurat atau catatan dokter sebelumnya dapat membantu untuk mendiagnosis dengan tepat.6

Semua individu yang diketahui memiliki riwayat anafilaksis perlu dicatat dengan lengkap dan teliti, meliputi manifestasi seperti urtikaria, angioedema, flushing, pruritus, obstruksi saluran nafas atas, gejala gastrointestinal, sinkop, hipotensi, obstruksi saluran nafas bawah, dan pusing.

TERAPI

Tindakan harus segera

  • Resusitasi kardiopulmonal
  • Trakeostomi sesuai indikasi
  • Adrenalin (epinefrin) ® 0,01 ml/kgBB s.k./i.m. (larutan 1:1000), bila perlu ulangi dengan interval 15-30 menit

Bila syok/kolaps vaskular ® 0,01-0,05 ml/kgBB, i.v. (larutan 1:10.000), suntikan perlahan-lahan (1-2 menit)

Bila penyebabnya suntikan ® adrenalin 0,1–0,2 ml (larutan 1:1000) s.k. pada daerah suntikan, untuk mengurangi absorpsi antigen

  • Tourniquet (proksimal dari tempat gigitan)

Bila penyebabnya sengatan/gigitan hewan berbisa atau obat yang disuntikkan pada ekstremitas

Longgarkan tourniquet tiap 10 menit selama 1-2 menit

  • O2 : Bila sianosis, dispnea atau mengi

Dosis 5-10 L/menit, melalui masker/kateter hidung

  • Difenhidramin ® 1-2 mg/kgBB (maks. 50 mg) i.v./i.m. perlahan-lahan selama 5-10 menit, dilanjutkan p.o. setiap 6 jam setelah keadaan gawat teratasi
  • Bila penderita masih hipotensi, dispnea, gawat à rawat di PICU

Cairan intravena

Untuk mengatasi syok berikan larutan NaCl fisiologis dan glukosa 5% dengan perbandingan 1:4, 30 ml/kgBB sampai syok teratasi paling lama 2 jam

Setelah syok teratasi, infus diteruskan sesuai berat badan dan umur anak

  • Aminofilin

Pada bronkospasme berikan aminofilin 4-7 mg/kgBB, larutkan dalam dekstrosa 5% paling sedikit sama banyak, suntikan i.v. secara lambat (15-20 menit)

Bila belum teratasi dilanjutkan perinfus, kecepatan 0,2-1,2 mg/kgBB/jam atau 4-5 mg/kgBB i.v. selama 20-30 menit setiap 6 jam. Kalau memungkinkan, monitor kadar aminofilin darah

  • Vasopresor

Bila tekanan darah belum terkontrol, berikan salah satu obat dibawah ini

Metaraminol bitartrat (Aramine) : 0,01 mg/kgBB (maks. 5 mg) dosis tunggal, i.v. secara perlahan sambil memonitor bunyi jantung, bila terjadi aritmia jantung, hentikan segera

Dosis dapat diulang

Levaterenol bitartrat (Levophed) : 1 mg (1 ml) dalam 250 ml cairan i.v., kecepatan 0,5 ml/menit

Dopamin

Berikan bersama infus, kecepatan 0,3-1,2 mg/kgBB/jam

  • Kortikosteroid

Diberikan setelah fase akut teratasi, memperpendek lama sakit dan mencegah rekurensi

Hidrokortison ® 7-10 mg/kgBB i.v., dilanjutkan 5 mg/kgBB setiap 6 jam. Hentikan setelah 2-3 hari

  • Suportif

Setelah stabil.

PENCEGAHAN

Merupakan aspek yang terpenting dalam penatalaksanaan

Anamnesis teliti mengenai alergi obat

Penderita menunggu 30 menit sesudah pemberian obat

Penggunaan antibiotik atau obat lain harus atas indikasi, kalau mungkin berikanlah p.o. daripada suntikan

Bacalah label obat dengan teliti

Kalau diperlukan anti serum, pergunakanlah preparat serum manumur

Lakukanlah tes kulit atau tes konjungtiva

Bila alergi terhadap obat, harus mempunyai catatan mengenai macam/jenis obat tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Sampson HA, Leung DY. Anaphylaxis. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatric. Edisi ke-18.Philadelphia: WB Saunders Co; 2004. h. 983-5.
  2. Lieberman P, et al. The diagnosis and management of anaphylaxis: An updated practice parameter. J Allergy Clin Immunol. 2005;115:S483-523
  3. Anaphylaxis (diakses: 14 Maret 2008). Tersedia dari: http://en.wikipedia.org/wiki/Anaphylaxis
  4. Simons FE. Anaphylaxis. J Allergy Clin Immunol. 2008;121:S402-527
  5. Simons FE. Anaphylaxis, killer allergy: Long-term management in the community. J Allergy Clin Immunol. 2006;117:367-77
  6. Sampson et al. Symposium on the definition and management of anaphylaxis: Summary report. J Allergy Clin Immunol. 2005;115:584-91
  7. Kemp SF, Lockey RF. Anaphylaxis: A review of causes and mechanisms. J Allergy Clin Immunol. 2002;110:341-8
  8. Johansson et al. Revised nomenclature for allergy for global use: Report of the Nomenclature Review Committee of the World Allergy Organization, October 2003. J Allergy Clin Immunol. 2004;113:832-6
  9. Anaphylaxis (diakses: 14 Maret 2008). Tersedia dari: http://www.emedicine.com/EMERG/topic25.htm
  10. Finkelman FD, et al. Molecular mechanism of anaphylaxis: Lessons from studies with murine models. J Allergy Clin Immunol. 2005;115:449-57.
  11. Roit I, Brostoff J, Male D. Immunology. Edisi ke-6.England: Harcourt Publisher Limited; 2001.
  12. Subowo, Imunologi Klinik , Ed. 1, Angkasa Bandung  1993. h. 9-36
  13. Simons FE, et al. Risk assessment in anaphylaxis: Current and future approaches. J Allergy Clin Immunol. 2007;120:S2-24

 download file lengkapnya silahkan klik disini 

semoga dapat bermanfaat sebagai bahan revisi atau pengetahuan anda.


salam hangat

admin